.."Alam akan bersahabat bila kita bersahabat.."

Senin, 16 April 2012

Suku Baduy




Suku Baduy adalah salah satu wujud keaneka ragaman dari alam Indonesia dan hanya Indonesia yang memilikinya. Kita bisa membayangkan dalam angan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara hembusan angin menerpa dedaunan bambu, kicau burung dan deburan aliran sungai. Kemudian dengarkan bisikan alam yang menyapa dalam kesunyian, Anda layak melihatnya dengan mata hati, sehingga dibawalah sebuah pengalaman yang melekat di hati.


Ada banyak kearifan lokal yang akan di peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional.

Lupakan ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men - charge hp Anda, bahkan sinyal pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara - suara alam. Di sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia.

Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar.

Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.

Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan akhir abad ke - 18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke - 20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.


Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah - pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.

Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.

Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak - kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis - gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.

Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan ( tanah dan air ), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.


Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar - benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba - coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.

Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal - usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik ( mandita ) untuk menjaga harmoni dunia.

Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep - konsep dan kegiatan - kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh ( aturan adat ) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang ( animisme ) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari - hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' ( kepatuhan ) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.

Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing - masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing - masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat - obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut.


Pemda Lebak sejak tahun 1990 menyatakan bahwa kawasan masyarakat Baduy merupakan cagar budaya. Mereka tetap mempertahankan warisan leluhurnya yang merupakan aset nasional yang harus harus dijaga. Hal itu dikukuhkan dengan Peraturan Daerah nomor 13/1990. Dengan demikian hutan dan sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut Kepala Desa Kanekes Jaro Daerah, suku Baduy menempati areal tanah seluas 5.101 ha, yang terbagi dalam 53 kampung. Tiga kampung ditempati oleh Baduy Dalam masing - masing kampung bernama Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, sedangkan sisanya ditempati oleh Baduy Luar. Suku - suku Baduy tersebut bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Sabtu, 14 April 2012

Pendakian musim hujan ke gunung Creremai

Pendakian gunung ceremai sudah lah lama kami rencanakan akan teapi terus tertunda dengan pendakian - pendakian ke gunung lain. Alhamdulillah akhir tahun alis Tahun baru 2010 kami pastikan untuk menapaki jejak kami di gunung Ceremai.

Dengan peralatan apa adanya kami meluncur ke kota bersejarah Linggar Jati...karena disanalah Gunung Ceremai berlokasi.



Perjalanan malam untuk mengejar pagi sampai disana yang kami ambil, kami pun start jam 19.00 Wib menunggu mobil Tiger alias tiga prepat alias kopaja..untuk sampai di pertigaan cikampek.
 


Kami OTW Cikampek dengan mobil Tiger ...sesampai disana kami bersantai untuk menunggu datangnya mobil bus menuju kuningan tepat nya pintu gerbang Linggar Jati, selang setenga jam bus pun tiba...lets gooo>>


Ditengah perjalana yang meleahkan kami singgah sejenak di Rmh Makan yg lumayan nyaman lah..! kami mengisi perut dan ngopi - ngopi dulu sejenak..lanjut perjalanan semangat makin besar dan tak tertahankan..

Akhirnya sampailah kami di tugu selamat datang Linggar Jati, narsis sebentar lalu mulai berjalam...saking semangat nya lupa bahwa itu msh lumayan jauh..akhirnya selang beberapa menit kami berjalan, kami naik angkutan kota yg ada di jalur itu demi mempercepat waktu yg kami punya...

Sampailah kami di Pos Linggar Jati, disana tempat kami registrasi dan ada juga warung dan konter yang menyediakan aneka makanan dan aksesoris'' ...istirahat sejenak ...semangat sudah mulai tak terbendung dan juga target waktu sudah masuk, keadaan msh gelap pun kami berangkat....tetap semangat......!!!!

Perjalanan kami isi dengan canda tawa yang sangat bersemangat ...dan kekeluargaan...
Di pos 2 kami di periksa administrasi pendakian dan sambil narsis dikit....walau keadaan sudah mulai terasa cape dan lelah tetap kami tersenyum untuk membangan semangat pendakian kembali...

Perjalanan sudah mulai beraroma mendung dan angin badai...kami sejenak mempersiapkan alat untuk persiapan turunnya hujan....>selang beberapa menit hujan dan angin pun menyambut kami dengan kesegaran ....


Perjalanan tidak mungkin kami lanjutkan karena kondisi trex dan gelap mulai mengikat, akhirnya kami buka camp di pos 4 ...

Pagi langsung kami persiapkan untuk melanjutkan perjalanan Summit Atack..setelah di selani sarapan pagi yang mantabbb...kami langsung mluncur...
 
Lagi - lagi kami di sambut hujan deras dan angin badai, tapi karena kondisi tidak gelap dan trek masih terlihat jelas kami terus melanjutkan perjalan....

lanjut terus NANDJAK ADVENTURE ...tetap semangat sedikit lagi ....!!! narsis dulu..hehe


Alhamdulillah puji syukur atas keindahan yang kami dapat di alam mu ya allah, engkau memang maha pencipta...

NANDJAK ANVENTURE.....salam nandjak

Puisi Terakhir Dari Soe Hoek Gie


Soe Hoek Gie, pendaki gunung Indonesia yang kini melegenda, meninggal di tingginya alam Semeru, meninggal dalam pendakian gunung, serta telah menggapai impiannya semasa masih bisa. Selayaknya kita kenang Soe Hoek Gie dan jadikan inspirasi bagi kita pendaki selanjutnya dan bagi pendaki - pendaki dan penggiat alam bebas pemula. Tetap sehat di alam dan cintai alam sepenuh hati agar bumi bernafas kembali. Ini puisi terakhir dari Soe Hoek Gie sebelum menghembuskan nafas terakhirnya di Semeru.


Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah,
Aada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di wiraza,
Ttapi aku ingin menghabiskan waktu ku disisi mu sayang ku….
Bicara tentang anjing - anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga - bunga yang manis di lembah mandalawangi
Ada serdadu - serdadu Amerika yang mati kena bom di Da nang
Ada bayi - bayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisi mu manisku


Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya - tanya
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra Yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas Atau awan yang menang
Kita tak pernah menanamkan apa - apa
Kita takkan pernah kehilangan apa - apa
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahir
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu

Norman Edwin


Norman Edwin, siapa yang belum mengenalnya? Dialah selama ini yang dikenal oleh kalangan petualang sebagai petualang yang multi talenta di berbagai kegiatan outdoor. Bersama Mapala UI, organisasi yang memayunginya, alm. Norman Edwin aktif dalam mengembangkan kegiatan mendaki gunung, panjat tebing, susur gua, arung jeram, kayaking, menyelam dan terjun payung.


Dari semua jenis outdoor tersebut, hanya diving atau menyelam dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar. Hebatnya, dari berbagai jenis outdoor yang ditekuni, beliau tidak hanya sekedar melakukannya. Beliau di akui sangat ahli dalam hal skill dan jam terbangnya sangat tinggi.

Di Mountainering, dia tercatat menelorkan ide pertama kali
Seven Summits ( pendakian 7 atap tertinggi tiap benua ) ke Indonesia, meski akhirnya harus menghembuskan nafas saat mendaki gunung Aconcagua.

Di
Arung Jeram, dia di kenal sebagai skyper yang handal. Banyak ekpedisi pengarungan yang di lakoni berjalan sukses. Seperti misalnya ketika beliau dan rekan - rekannya mencatatkan diri sebagai kelompok pertama yang berhasil mengarungi Krueng Tripa sejauh 100 kilometer, mulai dari Kala - kuang di Aceh Tenggara sampai Alue Waki di Aceh Barat.

NORMAN EDWIN DAN CAVING

Sebagai seorang yang memiliki gairah tinggi dalam dunia kepetualangan, Norman Edwin juga ikut meletakkan dasar keilmuan tentang aktivitas caving di Indonesia. Bersama kawan - kawannya dia membentuk Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia ( Specavina ). Kawan - kawannya yang ikut tergabung di sini antara lain dr. Ko King Tjoen, Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman.

Saat organisasi ini di rintis oleh mereka, ada banyak kendala yang membuat perjalanan aktivitas organisasi berjalan kurang mulus. Salah satu penyebabnya dikarenakan minimnya keilmuan tentang gua. Di tambah ketidaktersediaan perlengkapan yang di perlukan saat ekspedisi penelusuran gua. Saat itu belum ada tempat ( toko ) yang menjual peralatan caving di Indonesia.

Sementara dalam hal penyebaran keilmuan, Specavina tergolong sangat "selektif". Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya ( speleologi ) ketimbang ”olahraganya”.

Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar 
Susur Gua adalah pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya.

Setelah mengetahui hal ini, di harapkan seorang caver mampu mendeteksi kemungkinan goa dapat ditemukan. Kondisi di kawasan batu gamping ( karst ) biasanya yang menjadi tujuan utama ekspedisi penelusuran gua. Karena memang di ungkapkan dalam teori spelelogi.

Selain dasar geologi, aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua ( biospeleologi ). Dengan memiliki pengetahuan ini, penelusur gua ( caver ) bisa membandingkan kehidupan di dalamnya: flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Tidak menutup kemungkinan, jika seorang caver nantinya menemukan spesies baru. Seandainya hal ini di temukan, setidaknya mereka bisa mengetahui cara yang tepat untuk membawa maupun mendokumentasikan sebelum di identifikasi lebih lanjut oleh pakarnya.
Source

Sosok Gie


Sosok Gie Dalam Film adalah sebuah kisah yang diambil dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri. Tetapi jelas di tambahkan tokoh - tokoh fiksi agar cerita lebih berjalan dramatis sesuai alur sebuah film Indonesia. Film yang disutradari oleh Riri Riza ini memang pada garis besarnya mengenang Soe Hok Gie sebagai seorang Demonstran dan Pecinta Alam.


Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah menonton film ini. Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing - masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik ( Nicholas Saputra ), dan Penata Sinematografi Terbaik ( Yudi Datau ).

SINOPSIS
Soe Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep - konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek - intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni.

Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat - sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan
Herman Lantang  bertanya “Untuk apa semua perlawanan ini?”. Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak - hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Masa remaja dan kuliah
Soe Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Soe dan teman - temannya bersikeras bahwa mereka tidak memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Soekarno sebagai founding father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Soekarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak - injak.


Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno, dan dengan tegas bersuara menulis kritikan - kritikan yang tajam di media. Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat janji - janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh - musuh Hok Gie bersemangat menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.

Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.


Hok Gie dan teman - temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam ( MAPALA ) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa film, menikmati kesenian - kesenian tradisional, dan menghadiri pesta - pesta.

Film ini menggambarkan petualangan
Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Soekarno, dan perubahan - perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai.

TOKOH LAIN
Tan Tjin Han, figur yang menjadi sahabat Gie semasa kecil, adalah seorang tokoh fiktif yang diilhami oleh dua orang sahabat Hok Gie, Djin Hok dan Effendi. Dari buku harian Hok Gie memang terdapat referensi tentang Djin Hok yang menjadi korban kekerasan tantenya, tetapi di masa dewasa Hok Gie namanya tak pernah lagi disebut - sebut. Teman Hok Gie yang menjadi korban razia PKI adalah Effendi.

Ira dan Sinta adalah dua perempuan yang mewakili wanita - wanita dalam hidup Hok Gie. Meskipun Hok Gie memang pernah berpacaran dengan beberapa gadis UI, Ira dan Sinta dalam film ini adalah tokoh - tokoh fiktif. Riri Riza, pembuat film ini bahkan menyempatkan diri ke luar negeri untuk mewawancarai salah seorang wanita yang pernah dekat dengan Soe, tetapi beliau menolak untuk membiarkan identitasnya diketahui publik dan tidak mau membeberkan detail - detail hubungan mereka dengan Hok Gie. Buku harian Hok Gie memang menyebutkan keterlibatannya dengan tiga perempuan, tetapi tidak dengan jelas menyatakan apakah dia memang mencintai salah satu di antara mereka.


Ira adalah seorang wanita muda yang cerdas dan hidup dengan semangat pejuang untuk impian - impian idealistis yang juga dimiliki Hok Gie. Ira adalah sahabat dan pendukung Hok Gie yang paling setia dan selalu hadir, baik saat Gie sedang kerja maupun main. Sempat terlihat tanda - tanda asmara yang subtil antara Hok Gie dengan Ira, tetapi baru sekali kencan keduanya sudah tidak berani melanjutkannya menjadi sebuah kisah cinta.

Selang beberapa tahun, muncullah seorang gadis menawan bernama Sinta. Orang tua Sinta yang berada mengagumi karya - karya tulis Hok Gie. Jelas terlihat bahwa Hok Gie dan Sinta secara fisik memang tertarik satu sama lain, tetapi tidak berhasil menjalin hubungan hati - ke - hati yang mantap. Kelihatannya Sinta sekadar suka ditemani Hok Gie dan bangga menjadi pacar seorang tokoh yang dihormati, tetapi sebenarnya tidak betul - betul peduli dengan hal - hal yang menjadi obsesi hati Hok Gie. Sebaliknya,
Soe Hok Gie tidak tahu bagaimana mengambil hati Sinta dan merasa tidak puas dengan hubungan mereka. Kehadiran Sinta menimbulkan kerikuhan antara Gie dengan Ira.

Kisah cinta Hok Gie dan Sinta mungkin diilhami oleh pacar Hok Gie yang terdekat. Pacar Hok Gie adalah putri sebuah pasangan kaya yang mengagumi karya - karya Hok Gie. Namun, begitu hubungan Hok Gie dengan pacarnya semakin intim, orang tua si gadis mulai membuat - buat dalih untuk menghalang - halangi putrinya dan Hok Gie untuk saling bertemu. Menurut orang tuanya, adalah terlalu riskan bila sang putri menikahi seorang pria yang keuangannya sulit dan sering menjadi target intimidasi dan macam - macam ancaman.

Film ini menggambarkan Ira sebagai cewek yang selalu siap bergabung dengan para cowok untuk naik gunung. Saat Hok Gie cs. menaiki Gunung Semeru, hadirlah seorang wanita bernama Wiwiek Wiyana—tokoh yang tidak pernah disebut - sebut dalam film. Akan tetapi, apakah pengilhaman karakter Ira ada hubungannya dengan Wiwiek Wiyana bisa diragukan, karena menurut film ini, sementara Hok Gie naik ke Semeru, Ira sedang bersantai di rumahnya ditemani alunan tembang romantis yang membangkitkan cerita lama.

Tokoh - tokoh tambahan lainnya antara lain Denny ( salah seorang sahabat Hok Gie yang periang, lucu, dan ramai ), Jaka ( tokoh PMKRI yang kemungkinan besar adalah Cosmas Batubara ) dan Santi ( seorang pelacur yang diperkenalkan kepada Soe oleh para cowok yang berusaha mendorong Soe untuk memburu potensi berkembangnya persahabatannya dengan Ira menjadi kisah cinta ).